Selasa, 21 Oktober 2008

Keajaiban Silahturrahim

Ada banyak cara bagi Allah untuk memberikan rejeki kepada umatnya. Bahkan melalui jalan yang tidak diduga-duga. Dua minggu terakhir ini, saya mendapatkan rejeki yang tidak saya sangka-sangka sebelumnya. Dari arah yang juga tidak saya duga pula. Dan saya menyebutnya karena keajaiban silahturrahim.

Satu minggu yang lalu, saya bisa menghadiri pernikahan seorang teman saya di kota kelahirannnya, Purworejo. Alhamdulillah, saya bisa menghemat uang saku saya. Saya tidak mengeluarkan uang untuk biaya pulang pergi Bandung-Purworejo karena saya menghadiri acara walimahan itu bersama-sama teman-teman kantor teman saya dengan menggunakan mobil dinas kantor teman saya.

Semuanya berawal dari silahturrahim. Awalnya, saya bermaksud untuk silahturrahim ke kos teman saya. Sudah lebih sekitar dua bulan saya dan dia tidak saling bertatap wajah. Kesibukan di kantor masing-masinglah yang membuat jarak yang sebenarnya bisa ditempuh dengan kurang lebih setengah jam perjalanan dengan menggunakan angkot menjadi begitu jauh. Hari minggu, satu minggu sebelum walimahannya saya menyempatkan diri untuk bertandang ke kosnya. Sekedar ingin melepas kangen. Maksud hati, saya ingin menanyakan denah perjalanan dari Bandung menuju rumahnya di Purworejo. Saya belum pernah ke Purworejo sebelumnya sehingga saya benar-benar tidak mengetahui di mana persisnya letak rumahnya. Teman saya sedang menjelaskan dengan detail peta yang sedang dibuatnya kepada saya ketika seorang teman kantor dan juga teman kosnya mengetuk pintu kamarnya. Saat itulah, dia melihat saya dan bertanya kepada saya apakah saya akan menghadiri acara walimahan di Purworejo atau tidak. Jawaban “iya” dari lisan saya dibalas dengan kata-kata yang membuat saya mengerti tentang makna silahturrahim.

“Yah udah, Fety bareng kita aja. Insya Allah, kita dari kantor juga akan menghadiri walimahan di Purworejo. Kita pergi ke Purworejo dengan menggunakan mobil kantor kita," begitulah tawarannya pada saya.

“Insya Allah, deh. Tapi, patungannya berapa?” tanya saya.

“Gak usah dipikirkan, Fet, tentang hal itu. Insya Allah, dari kantor kita akan mendapat uang bensin untuk keberangkatan kita ke Purworejo.”

Alhamdulillah, begitulah ucap saya dalam hati ketika mendengar jawaban dari teman kantor teman saya itu. Dan benarlah ucapan teman kantor teman saya itu. Saya memang tidak perlu mengeluarkan uang saku saya untuk keberangkatan kami ke Purworejo.

Selang tiga hari setelah saya menghadiri walimahan teman saya, saya menghadiri sebuah seminar yang temanya bersesuaian dengan bidang kerja saya saat ini. Kebetulan, saya berangkat sendiri ke acara seminar itu. Saya mengambil posisi duduk pada baris kedua dari belakang. Di sebelah saya berjejer tiga orang teman yang baru saya kenal di awal kedatangan saya di seminar itu. Untuk mengusir kebosanan yang melanda di tengah-tengah acara seminar, saya mengobrol dengan teman yang persis ada di samping saya. Seorang wanita yang jarak usianya lima tahun di atas saya. Ternyata, saya dan dia mempunyai tanggal lahir yang persis sama. Beberapa sifat saya dan dia pun juga hampir sama. Semuanya terungkap sebagai hasil obrolan jeda di tengah berlangsungnya seminar itu. Dan, akhirnya saya merasa begitu akrab dengan dia. Begitu pula dengan dia. Dan terakhir, kebersamaan kami hari itu diakhiri dengan tawaran dia untuk mengantarkan saya ke sebuah optik kacamata sebelum saya pulang ke kantor saya. Begitulah silahturrahim mengungkapkan maknanya.

Kurang lebih tiga hari setelah saya dipertemukan Allah dengan seorang teman yang mempunyai tanggal lahir yang persis sama dengan saya, kembali Allah memberikan sebuah rejeki untuk saya. Kepergian saya untuk menghadiri acara gathering sebuah milis yang saya ikuti juga menghemat uang saku saya. Saya pergi menghadiri acara gathering itu bersama seorang teman dengan menggunakan mobil pribadinya. Begitu pula dengan biaya administrasi untuk acara gathering itu. Dengan sukarela, beliau membiayai saya. Maklumlah, beliau adalah seorang pejabat teras di sebuah toserba terkemuka di kota Bandung. Semuanya berawal dari silahturrahim di suatu sore di sebuah restoran cepat saji di dekat kantor saya. Beliau menawarkan pergi bersama-sama setelah beliau mengetahui kalau saya tidak mengetahui dengan pasti tempat gathering itu. Ah, silahturrahim. Begitulah caranya memberikan makna.

***

Mengenang kejadian-kejadian di atas saya teringat pada makna silahturrahim yang dituangkan oleh Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Anak dalam Islam. Menurut beliau, ada beberapa manfaat silahturrahim, di antaranya: merupakan syiar keimanan kepada Allah Subhanallahu Wa Ta’ala dan hari akhir, dapat menambah umur dan melapangkan rejeki, mampu menghindarkan pelakunya dari keburukan, dapat memakmurkan rumah dan mengembangkan harta, dapat mengampuni dosa dan menghapus kesalahan, memudahkan perhitungan amal (hisab) dan memasukkan si pelaku ke dalam surga, serta dapat mengangkat pelakunya pada derajat yang tinggi pada hari kiamat nanti.

Dan saya kembali tercenung ketika mengingat sebuah hadis yang berbunyi: ”Barangsiapa yang ingin diluaskan rejekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilahturrahim (menyambung tali persaudaraan) dengan keluarganya”. Memang tidak ada yang salah dengan janji Allah Subhanallahu Wa Ta’ala dan sabda junjungan kita, Nabi Muhammad Salallahu ‘Alaihi Wassalam.
Oleh:Febty Fabriani
(www.eramuslim.com)

DOA dan SMS

Pernahkah kita sekali waktu merenungi bahwa do’a dan SMS pada beberapa hal memiliki persamaan? Perenungan ini berawal ketika isteri yang sangat saya cintai mengirimkan SMS layanan call me (CM) kepada saya. Isinya, dia meminta untuk segera dihubungi. Saya sangat paham dan bisa merasakan masalah apa yang mungkin sedang dialaminya. Kami belum berkomunikasi selama ± 3 minggu. Anda bisa membayangkan, begitu lamanya waktu itu bagi pasangan pengantin baru seperti kami. Hal ini terjadi karena untuk sementara jarak di antara kami berjauhan. Saya berada di Jakarta guna melanjutkan studi sedangkan isteri berada di kota indah belahan selatan Jawa Tengah dan sedang menyelesaikan jenjang S1-nya.

Alasan lain, karena kami sama-sama kehabisan pulsa. Untungnya, dua hari sebelum SMS dari isteri hari itu, saya telah punya rizki untuk mengisi ulang pulsa. Permintaannya untuk segera menghubungi tidak langsung saya penuhi. Pada saat itu, saya sedang fokus muroja’ah hafalan beberapa surah juz 29. “setengah jam lagi deh” begitu pikirku. Saya yakin waktu 30 menit masih bisa membuat dia menunggu dan bertahan menglola masalah yang sedang ia hadapi. Benar, setelah setengah jam, saya baru menghubunginya. Saya bisa merasakan bagaimana perasaanya ketika itu.

Pengalaman di atas mengingatkan saya akan kebutuhan kita pada Allah yang salah satu wujudnya berupa berdo’a kepada-Nya. Ada barangkali dari kita berdo’a kepada-Nya dengan harapan dapat segera dikabulkan. Namun, tidak jarang do’a itu terasa lama sekali belum dikabul-kabulkan. Pada hal, kita sudah merasa dalam kondisi kritis dan sangat membutuhkan.

Tidak perlu buru-buru su’udzon pada Allah. Yakinlah, bahwa do’a itu pasti telah sampai pada Allah, bahkan lebih cepat dari SMS. Do’a itu pasti akan dikabulkan. Allah sendiri yang telah menguatkan itu, ”Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada Ku” QS 2: 186. Lantas mengapa do’a kita belum juga terkabul! Khusnudzon saja dahulu, hal itu bisa jadi lantaran Allah sangat paham bahwa mungkin kita dinilai masih bisa bertahan mengelola tekanan masalah yang sedang kita hadapi. Atau bisa jadi, hal itu sebagai bentuk latihan kemandirian kita dari Allah. Ia tidak ingin hamba yang sangat dicintai cengeng menghadapi realitas hidup.

Lantas bagaimana jika sampai akhir hayat, do’a kita belum juga terkabul? Jangan terkejut kalau ternyata di alam yang lain kita kebanjiran “harta karun” sebagai bentuk karunia Allah atas do’a - do’a yang kita panjatkan selama di dunia. Allah pasti mengabulkan do’a karena Ia tidak membutuhkan waktu untuk berbuat, kun fayakun. Berbahagialah manusia yang senantisa berdo’a kepada-Nya. Innallaha la yukhlifu al-mi'ad.
Wallahu’Alam bi Showab.

OASE IMAN(Sepatah Kata Sepetak Surga)

oleh Sus Woyo Rabu, 13 Des 2006 08:02

Ketika kecil, saya senang sekali mendengarkan orang-orang berpidato atau ceramah di tempat-tempat pengajian. Sampai suatu saat terbersit keinginan ingin seperti mereka yang pandai bicara.

Atau bahkan dulu saya sering terkagum-kagum jika pada saat menjelang pemilu para juru kampanye yang mewakili partainya masing-masing begitu semangat membakar hati massa. Atau saya juga sangat sering terpukau dengan para politikus yang sedang berbicara atau berdiskusi di layar televisi. Yang ada dalam benak saya adalah bahwa mereka termasuk orang-orang hebat.

Akhirnya saya terbuai untuk belajar bagaimana caranya berbicara di depan orang banyak. Baik lewat buku-buku ataupun mengikuti cara guru-guru saya ketika ngaji sore hari di surau kampung saya. Sebab ada pelajaran pidato.

Seiring dengan perjalanana waktu dan seringnya ikut berkumpul dengan teman-teman di lingkungan kampung, maka saya makin terbiasa untuk ngomong di depan orang banyak, walaupun -tentu saja- tak sepandai seperti para tokoh yang saya sebut di atas.

Akhirnya saya menjadi terbiasa sering ngomong berbagai macam hal di lingkungan tempat tinggal saya. Pada saat sudah tak ada masalah lagi dalam hal bicara di depan forum, tiba-tiba saya dihantui perasaan sangat khawatir. Tak hanya khawatir, bahkan sering dihantui ketakutan.

Sampai beberapa lama saya malah sangat malas jika diberi mandat untuk sekedar berbicara di depan umum. Apalagi berkaitan dengan memberi pelajaran kepada orang lain. Sebagai contoh, memberi materi kuliah subuh di masjid. Walaupun pada akhirnya tetap saya kebagian untuk bicara juga. Karena tidak ada yang lain.

Bagi saya hal ini merupakan tugas yang sangat berat. Kalau sekedar ngomong, berpidato, orasi, itu sesuatu hal yang mudah. Tapi tanggung jawab di balik kata-kata itu adalah sesuatu yang tidak gampang.

Hasan Basri, sorang ulama shalafussaleh yang terkenal hati-hati dan zuhud, beberapa kali menunda, bahkan menolak membahas suatu hal dalam sebuah kajian keilmuan, bukan karena alasan apa-apa, tapi lebih karena ia sendiri belum pernah melaksanakan hal-hal yang akan diterangkan kepada umat.

Lantas bagaimana dengan saya? Sudahkan saya melaksanakan shalat malam pada saat saya membacakan hadits tentang qiamullail? Sudahkah saya bersedekah, sementara saya sering membacakan nash tentang itu kepada orang lain?

Saya tentu saja bukanlah Hasan Basri si ulama wara’ itu, tapi melihat ke-hati-hati-an beliau dalam membuat “sepatah kata menjadi sepetak surga”, memang perlu ditiru. Dan rupanya bukanlah sesuatu hal yang mudah. Walaupun itu juga tak selamanya menjadi sebuah kesulitan.

Karena kita semua memang sudah paham, bahwa bagi orang mu’min, antara kata dan perbuatan haruslah sama. Tidak boleh seperti orang-orang munafik, yang antara kata dan perbuatan selalu tidak sama. Wallahua’lam.(www.eramuslim.com)

Selasa, 14 Oktober 2008

Pacaran Menurut Islam

Istilah pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri remaja yang menonjol adalah adanya rasa senang kepada lawan jenis disertai keinginan untuk memiliki.
Pacaran dapat diartikan bermacam - macam, tetapi intinya adalah jalinan cinta antara seorang remaja dengan lawan jenisnya.
Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam islam

Selasa, 26 Agustus 2008

Sahabat Selamanya


Sahabat pertama q, ketika segalanya masih baru
Sahabat melalui masa -masa sulit saat bertumbuh dewasa yang telah q-ta lalui
Sahabat melalui pertengahan masa itusuka dan duka
Sahabat di kala sedih
Jadi kemanapun kamu pergi kesana kesini atau kemanapun ...............
Ketahuilah bahwa kamu punya tempat di hati q
Sahabat pertama Q , sahabat selamanya

RinDu Q

Dikeheningan malam tiba
Bersamaan datangnya sinar sang rembulan
Setiap kata Q jurangi dengan nyanyian
Dan nada - nada cinta hingga malam semakin sunyi

Disetiap hembusan nafas Q
Kulihat bayangan wajahnya diantara sinar sang rembulan
Yang dihiasi dengan cahaya bintang
Seakan diri Q semakin rindu padanya
Dan membuat Q bertanya - tanya
Akankah cinta Q melingkar dihatinya?????????????????

Namun Q tak bisa mendekatinya karena jarak yang memisahkan
Aq hanya mampu bicara melalui angin
Yang selalu mengantarkan sebuah kata indah untuknya
Namun q tak tahu
Apakah dirinya disana merindukan Aq
Seperti Aq disini yang selalu merindukan dirinya